Senin, 31 Mei 2010

membangun kepercayaan

Kepercayaan adalah kekuatan “daya tarik” yang luar biasa untuk mengundang peluang ber-transaksi. Kalau melihat penjelasan para pakar marketing, transaksi adalah sasaran riil jangka pendek yang dicapai oleh kesepakatan antarpihak. Transaksi ini pada hakekatnya bukan saja akan dilakukan oleh para pedagang atau pebisnis, tetapi akan dilakukan oleh semua orang yang menjalankan aktivitas usaha, apapun usaha itu, termasuk juga bekerja.

Kita ingat pesan mendasar dalam dunia bisnis (baca: usaha) yang mengatakan, semua orang akan menjalani hidupnya dengan cara menjual sesuatu (selling), terlepas apakah itu barang atau jasa yang kita jual. Nah, supaya aktivitas jualan kita sampai pada tingkat transaksi, maka peranan kepercayaan sangat dominan di sini. Tidak semua produk yang belum laku itu tidak baik, tetapi adakalanya orang belum percaya akan benefit dari produk itu. Saking pentingnya kepercayaan itu dalam bisnis, sampai-sampai ada yang mengatakan begini: “jika orang itu suka kamu, ia akan mendengarkanmu, tetapi jika orang itu mempercayaimu, ia akan melakukan bisnis denganmu.”

Begitu juga, tidak semua karyawan yang belum mendapat kesempatan promosi jabatan itu tidak ahli, tetapi adakalanya orang belum percaya akan keahliannya. Bahkan ada kalimat yang pernah saya baca dari buku karya Helga Drummond berjudul: “Power: Creating It Using IT”, (Kogan Page: 1991) yang intinya ingin memahamkan kita bahwa untuk kepentingan power, maka yang terpenting bukan saja di bidang apa kita ahli, tetapi siapa saja yang mempercayai keahlian kita. Semua orang bisa ngomong politik atau ngomong tentang jeleknya pejabat, tetapi hanya orang tertentu saja yang sah untuk berbicara tentang hal ini. Semua orang di kantor bisa diajak melihat kekurangan organisasi, tetapi prakteknya hanya orang tertentu saja yang diberi hak untuk berpendapat tentang hal ini. Kira-kira begitulah contohnya.

Kasarnya, biarpun kita sudah ahli di bidang tertentu, tetapi kalau belum ada orang yang mempercayai keahlian kita, keahlian itu manfaatnya masih belum banyak buat kita. Mungkin atas dasar inilah George MacDonald pernah mengatakan: “Dipercaya itu nilainya lebih besar ketimbang dicintai.”

Berkali-kali telinga kita mendengar pengalaman para pengusaha yang bercerita tentang riwayat hidupnya. Mereka berani menyimpulkan, modal keberhasilannya adalah kepercayaan. Mereka mendapatkan uang dari orang lain yang percaya kepadanya. Lalu mereka mendapatkan produk juga dari orang lain yang percaya kepadanya. Dari modal dan produk itulah mereka mengolahnya dengan proses-proses yang terpercaya lalu lahirlah transaksi yang menguntungkan. Bank di dunia ini juga menerapakan cara kerja demikian. Mereka mendapatkan uang dari masyarakat yang percaya kepadanya. Lalu mereka kembangkan dengan sistem dan proses yang bisa dipercaya kemudian dari sinilah mereka mendapatkan untung.


Kedua, Kepercayaan akan mampu mengurangi sekian persen potensi problem dalam hubungan antarmanusia. Hubungan yang saya maksudkan di sini bisa hubungan apa saja, mungkin bisnis, mungkin profesi, rumah tangga, persahabatan dan lain-lain. Seperti yang kita alami, hubungan kita dengan orang lain itu tak hanya menjadi sumber solusi. Terkadang juga menjadi sumber problem. Problem inipun ada yang berupa kesulitan, dilema, dan misteri. Pokoknya, warna-warni problem itu bisa dikatakan tak terhitung.

Jika dicek ulang apa saja yang menjadi pemicu munculnya problem dalam hubungan, saya yakin kepercayaan termasuk salah satu faktor yang terbesar. Jika kepercayaan itu ada dalam sebuah hubungan memang tidak berarti problem akan hilang, tetapi jika kepercayaan itu sudah hilang, dipastikan akan banyak muncul problem. Problem yang diakibatkan oleh hilangnya kepercayaan ini biasanya melahirkan ketidak-efektif-an atau ketidak-efisien-an. Bisa dikatakan, kepercayaan adalah asas sebuah hubungan yang efektif dan efisien.

Kalau melihat bagaimana sulitnya memimpin bangsa Indonesia dan sulitnya bangsa Indonesia menemukan pemimpinnya dalam mengatasi masalah bangsa ini, mungkin benar juga kata para ahli di televisi. Hilangnya “trust” telah membuat roda kepemimpinan pemerintah menjadi tidak efektif dan tidak efisien, atau kerap terganjal oleh hal-hal yang tidak penting. Bukankah sering kita lihat demo atau penolakan sebagian rakyat terhadap program pemerintah padahal secara konsepnya program itu didesain untuk rakyat? Pada kasus ini tentu bukan programnya yang ditolak tetapi rakyat selalu curiga dan tidak percaya akan munculnya “jangan-jangan” yang dikhawatirkan, misalnya korupsi atau penunggangan kepentingan individu atas undang-undang yang sah.

Itulah sekilas gambaran bagaimana cara kerja kepercayaan dalam praktek hidup sehari-hari. Jika di atas ada pertanyaan mengapa kepercayaan itu perlu dibangun, maka jawabnya adalah: kepercayaan itu bukan pembawaan (traits) tetapi hasil dari pemberdayaan atau usaha (state), kepercayaan itu bukan pemberian tetapi balasan, kepercayaan itu bukan kumpulan pernyataan (talking only), tetapi kumpulan dari pembuktian (witness).

Dalam teori hidup yang dianut Jet Li, kepercayaan itu dibangun berdasarkan struktur langkah yang berawal dari: pertama, ketuklah pintu, kedua, buatlah orang lain tahu bahwa kau datang, ketiga, buktikan siapa dirimu. Jika kau sudah berhasil membuktikan siapa dirimu, maka kau akan mudah mengubah orang dan mengubah keadaan.

Perusak Kepercayaan

Ketika berbicara kepercayaan, mungkin ada dua hal yang patut diingat.

1. Kepercayaan itu datangnya dari orang lain tetapi alasannya dari kita. Artinya, ada dua pihak yang terlibat di sini. Karena itu sangat mungkin terjadi kasus penyimpangan. Misalnya saja, kita mempercayai orang yang tidak / belum layak dipercaya. Atau juga, kita belum / tidak dipercaya orang lain padahal kita sudah menyiapkan alasan untuk dipercaya.

Meskipun teknisnya sangat mungkin muncul kasus seperti di atas, tetapi prinsipnya tidak berubah. Artinya, pada akhirnya orang akan tidak percaya sama kita kalau kita tidak memiliki alasan atau kualifikasi yang layak untuk dipercaya. Sebaliknya, kita akan tetap mendapatkan kepercayaan kalau ternyata kita memiliki bukti-bukti yang layak untuk dipercaya (meski awalnya tidak dipercaya). Prinsip ini tidak bisa berubah. Tehnis sifatnya sementara tetapi prinsip bersifat abadi.

2. Kebanyakan orang sudah mengetahui apa saja yang perlu dilakukan untuk membangun kepercayaan dan mengetahui apa saja yang perlu dihindari karena akan merusak kepercayaan orang. Tetapi sayangnya hanya sedikit orang yang mau dan mampu melakukannya. Padahal, pada akhirnya kepercayaan itu butuh pembuktian, bukan pernyataan.

Sebagai penegas ulang dari apa yang sudah kita tahu, di sini saya mencatat ada tiga hal yang kerap menjadi perusak kepercayaan.

a. Malas, setengah-setengah, ogah-ogahan (low commitment)

Biasanya, sebelum kita berani melanggar berbagai komitmen dengan orang lain, awalnya kita melakukan pelanggaran itu pada komitmen pribadi. Misalnya, kita punya rencana tetapi tidak kita jalankan. Kita punya target tetapi kita biarkan. Kita punya keinginan memperbaiki diri tetapi yang kita praktekkan malah merusak. Ini semua bukti adanya “gap between the world of word and the world of action” di dalam diri kita, yang merupakan buah dari komitmen yang rendah.

Menurut pengalaman Mahatma Gandhi, efek dari disiplin yang merupakan buah dari komitmen tinggi itu, tak hanya pada satu titik dalam kehidupan kita. Tetapi ia menyebar ke seluruh wilayah. Sebaliknya, efek dari ketidakdisiplinan juga menyebar ke seluruh wilayah, dari mulai hubungan kita ke dalam (intrapersonal) sampai ke hubungan kita ke luar (interpersonal).

b. Keahlian atau kapasitas yang tidak memadai

Banyak yang sepakat mengatakan, kejujuran merupakan pondasi kepercayaan. Ini pasti benar dan sama-sama sudah kita akui sebagai kebenaran. Cuma, ada satu hal yang sering kita lupakan bahwa yang membuat kita menjadi orang yang tidak jujur, bukan saja persoalan komitmen moral, tetapi juga keahlian atau kapasitas personal. Kalau Anda hanya punya pendapatan tetap sebanyak dua juta tetapi Anda harus menanggung kredit perbulan sebanyak lima juta, maka Anda mendapatkan stimuli dan force yang cukup kuat untuk berbohong. Sebagian kita “terpaksa” berbohong bukan karena rusak imannya tetapi karena kapasitasnya belum sampai. Di sini yang diperlukan adalah kemampuan mengukur kadar diri (self-understanding), pengetahuan-diri (self knowledge) atau kemampuan membuat keputusan yang bagus (the right decision).

c. Kebiasaan Melanggar Kebenaran

Punya kebiasaan melanggar kebenaran yang disepakati agama-agama, norma-norma dan lain-lain serta punya kebiasaan mendewakan “kebenaran-sendiri” yang melawan kebenaran itu, juga bisa merusak kepercayaan. Dalam hal usaha atau kerja sering kita dapati ada orang lebih percaya sama orang lain ketimbang sama keturunannya sendiri karena pelanggaran yang dilakukan. Soal sayang, pasti orang lebih sayang sama keturunannya, tetapi soal percaya, lain lagi. Bahkan tak sedikit penjahat atau koruptor mencari orang lain yang bukan penjahat atau yang bukan koruptor ketika urusannya adalah soal kerja atau menjalankan usaha.

Proses Pembelajaran

Sebagai acuan untuk memperbaiki diri (proses pembelajaran), saya ingin mengusulkan suatu istilah yang mudah-mudahan dapat kita jadikan sebagai acuan dalam membangun kepercayaan. Istilah yang saya maksudkan itu adalah:

1. Kesalehan

2. Keahlian

3. Komunikasi

Kata saleh yang sudah dipakai umum di sini diambil dari bahasa Arab. Salah satu artinya adalah “yang cocok”, singkron, integrited, atau hormani. Kesalehan adalah kemampuan kita dalam menyesuaikan tindakan dengan nilai-nilai kebenaran yang kita yakini, menyesuaikan tindakan dengan ucapan, menyesuaikan bukti (aksi) dengan janji, atau menyesuaikan tindakan dengan kata hati, dan seterusnya.

Kenapa saya katakan kemampuan karena, tidak ada manusa yang lahir langsung soleh, menjadi orang jujur, menjadi orang yang berkomitmen tinggi, menjadi orang yang taat (discipline), dan seterusnya. Karena itu, harus ada kesadaran dari dalam untuk meningkatkan kesalehan kita dari yang paling sanggup kita lakukan. Soal bagaimana tehnisnya, itu terserah kita. Tetapi prinsipnya harus ada kesadan dan tindakan perbaikan secara bertahap.

Seperti yang saya katakan di atas, tak cukup membangun kepercayaan dengan bermodalkan komitmen moral, seperti kesalehan ini. Perlu dukungan lain, yaitu keahlian atau kapasitas, jika urusannya menyangkut kerja atau usaha. Keahlian di sini adalah kemampuan menyempurnakan pekerjaan berdasarkan standarnya. Untuk bisa memiliki kemampuan ini diperlukan tambahan pengetahuan dan pengalaman.

Pada ruang lingkup kerja dan usaha yang lebih luas, kesalehan akan bekerja untuk menyelamatkan kita dari jatuh. Sedangkan keahlian akan bekerja untuk menaikkan prestasi kita. Jika kita naik terus tetapi akhirnya jatuh, tentu ini sakit. Sebaliknya, jika kita hanya aman saja, tetapi prestasi kita tidak naik-naik, ini bisa membuat dada kita sesak. Supaya aman dan naik, kuncinya adalah kesalehan dan keahlian. Bicara kepercayaan, tentu peranan dua hal ini sangat vital. Jika kita hanya ahli tetapi tidak soleh atau soleh saja tetapi tidak ahli, kepercayaan tentunya masih kurang.

Sedangkan kemampuan berkomunikasi itu kita butuhkan antara lain untuk: a) menjelaskan penyimpangan seperti dalam kasus di atas akibat kesalahpahaman, b) menjelasakan kepada orang lain tentang diri kita atau c) menyelesaikan perosalan kesepakatan yang gagal dilaksanakan karena ada masalah yang muncul.

Ketiga acuan ini apabila berhasil kita jalankan berdasarkan keadaan-diri kita masing-masing, trust akan muncul. Soal tehnisnya mungkin bermacam-macam. Ada yang mungkin tidak dipercaya lebih dulu baru kemudian dipercaya atau ada yang langsung percaya. Percayalah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar